Program Makan di Sekolah, Apa Gizi Keluarga Telah Dirapikan?

Akhir-akhir ini ramai dibahas perkara ‘bagi-bagi’ makan gratis di sekolah. Tidak perlu mengulik siapa penggagasnya dan milik siapa programnya, apalagi membandingkan negara-negara lain yang lebih dulu sudah menjalankannya.

Indonesia unik, ‘nyentrik’ – kata anak muda angkatan saya dulu. Tidak ada satu negri atau bangsa lain yang bisa menyamai.

Jadi, metode menganalisa semua sesuatunya pun seharusnya dari sudut pandang khusus.

Jauh sebelum pemerintah berkeinginan campur tangan soal makan di usia sekolah, sudah cukup banyak sekolah (khususnya swasta), memberlakukan aktivitas makan bersama minimal seminggu. Saat para murid membawa bekal dengan beberapa ketetapan dari gurunya.

Ada yang melarang produk kemasan dan instan, ada yang mewajibkan menu sayur, ada yang tak mengizinkan membawa minuman manis bersoda.

Tapi anehnya, hampir tak ada sekolah yang mewajibkan orang tua membawakan anak-si kecilnya bekal dengan menu Nusantara.

Saya pernah mendapatkan keluh kesah seorang Kecil yang kebingungan dengan ‘menu zaman kini’, sebagaimana dikontrol oleh guru kelas si kecilnya.

Sebutlah mie goreng (bahan mie dari terigu yang situs slot gacor gandumnya saja tak tumbuh di Indonesia), spagheti bolognaise, atau nugget kentang daging kornet (apa sulitnya bilang perkedel dan gunakan daging cacah ketimbang kornet tinggi garam).

Ada juga schotel macaroni (sekali lagi: terigu dan dan keju), sate sosis (yang sudah dihujat di negara asalnya sebagai produk yang jauh dari kata sehat), dan tentu saja: nasi ayam goreng ‘kentucky’ (meskipun gorengan ayam bertepung dari negara komponen Paman Sam ini, tak lebih sehat ketimbang ayam kuning ungkep atau ayam kalasan).

Masih ada lagi: kudapan agar-agar jelly dengan fla susu, demikian itu pula bubur kacang hijau yang santannya diganti susu, karena dianggap ‘lebih sehat dan berkelas’ ketimbang perasan kelapa.

Ada 3 kemirisan yang saya lihat terlepas dari soal pembiayaan program atau siapa yang akan menjadi penyedia makanan di sekolah.

Pertama, kita kian jauh dari adat istiadat bangsa sendiri. Walaupun-anak sejak pertama belajar makan sudah tak lagi kenal makanan sehat daerahnya. Yang diolah dengan beragam metode, dengan aneka rempah yang hanya terdapat setempat.

Istilah makanan kampungan menjadi tudingan yang sungguh-sungguh menghina, pun saking kampungannya tak jarang kali menu daerah ‘dipoles’ agar lebih ‘internasional’, seperti bubur kacang hijau dengan kuah susu tadi.

, santan kaya beribu manfaat. Yang pasti, mengandung antioksidan bernama asam laureat yang tak ada dalam susu.

Di negeri yang kaya akan pangan sehat dan bisa didapatkan segera dari sumbernya, kita justru kian banyak menggunakan produk olahan, termasuk santan kemasan.

Оставьте комментарий

Ваш адрес email не будет опубликован. Обязательные поля помечены *

0
    0
    Ваша корзина
    Ваша корзина пуста